BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Alief Art Production

<< Mencari -- Memberi -- Menerima >>

Pencarian

Rabu, 10 Februari 2010

Karakterologi dalam Teater

Kelompok Alief Mojoagung Menjelang Pementasan

Dulu banyak yang beranggapan bahwa dunia teater adalah dunianya "orang gila". Seiring pemikiran yang semakin berkembang, masyarakat mulai bisa menerima keberadaan komunitas teater di lingkungannya. Bukan sebagai komunitas tempat "orang gila", tetapi lebih dari itu menerima tentang unsur-unsur yang dipelajari dalam teater yang ternyata bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara nyata.

Definisi Teater secara umum adalah merupakan cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain (Wikipedia: 2009)*. Lebih jauh mempelajari tentang teater, maka akan terbuka manfaat berteater bukan hanya sebagai pemuas jiwa dalam bidang hiburan. Teater dalam kehidupan sehari-hari mempunyai fungsi yang sangat kompleks dalam rangka mewujudkan harmonisasi kehidupan.

Banyak hal yang bisa diambil dari kegiatan berteater. Bagi pelaku teater sendiri akan mendapatkan suatu manfaat yang sangat luar biasa. Dari hal terkecil yang dilakukan saat berproses dalam dunia teater mereka akan merasakan pentingnya kebersamaan, semangat untuk menumbuhkan percaya diri, kerjasama dalam kelompok, saling menghargai dalam berproses, dan lain-lain.

Secara lebih luas lagi jika menguak lebih dalam tentang teater maka yang didapatkan adalah teater terkait erat dengan "Karakterologi" (ilmu yg mempelajari watak seseorang berdasarkan perbuatan dan tingkah lakunya).
Dalam teater kita mempelajari tentang penghayatan peran, totalitas dalam berakting yang observasinya dengan cara mendalami suatu karakter tokoh yang dimainkan. Ini sama halnya dengan belajar tentang perwatakan, belajar untuk mengenal watak seseorang berdasarkan perbuatan dan tingkah lakunya.

Jika karakterologi dalam teater diterapkan pada kehidupan sehari-hari, tidak diragukan lagi akan terciptalah suatu harmonisasi dalam hidup. Dimana antar individu dalam masyarakat saling memahami dan mengerti karakter masing-masing, sehingga mudah tercipta perdamaian.

Sinergi antara Teater, Ilmu dan Jiwa untuk mewujudkan peradaban yang luhur.

Selasa, 02 Februari 2010

Saat Seni Menjadi Urgensi dan Kebutuhan Jiwa

"Pencak Bondan By Kelompok Alief Mojoagung"
(Saat Seni Menjadi Urgensi dan Kebutuhan Jiwa)


Berpasang mata tertuju pada satu titik, berpasang telinga fokus pada satu sumber suara, dan entah berapa otak yang berisi ornamen pikiran untuk mencerna apa yang terjadi di atas panggung saat pementasan berlangsung. Mungkin itu yang terjadi pada sebagian penikmat/penonton pertunjukan saat itu. Tidak menutup kemungkinan, ada juga sebagian diantaranya yang "sambil lalu" pada saat pementasan berlangsung.

Sebelum pementasan dimulai, yang terbersit dalam hati para pemain saat itu hanya satu yaitu: “semoga pementasan berjalan lancar dan penonton bisa menerima apa yang akan disajikan”. Maklum saja keinginan klasik seperti itu terlukis dalam lembar hati kami. Yang pasti semuanya terjadi karena proses latihan yang begitu singkat untuk sebuah event bergengsi se-Jawa Timur, Festival Budaya Adhikara Jawa Timur 2008.

Jika dipikir, memang terlalu berani saat itu Kelompok Alief Mojoagung menerima tawaran untuk mewakili kabupaten Jombang sebagai salah satu kontingen dalam acara tersebut. Selain proses latihan yang cukup singkat yaitu kira-kira 1 minggu 4 hari, tugas kami bertambah berat karena yang harus ditampilkan bukan pementasan drama, musik atau puisi seperti yang biasa kami pentaskan, tetapi sebuah penggabungan antara seni peran, tari, musik, sastra menjadi sebuah pementasan “Seni Pertunjukan”.

Bertambah berat lagi karena tema yang kami angkat adalah tentang seni tradisi lokal disajikan dalam bentuk pertunjukan. Akhirnya kami berkolaborasi dengan pelaku seni tradisi di daerah Mojoagung. Komunitas seni tersebut adalah komunitas pencak silat bernama “Kendang Pencak Mansurin”. Dalam waktu sesingkat itu, kami berlatih menyatukan ide pementasan yaitu penggabungan antara seni bela diri Pencak Silat, Tarian Bondan, Seni Teater, Geguritan, dan Musik Gamelan sederhana menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Berawal dari ide salah satu pembimbing Kelompok Alief, pementasan tersebut akhirnya diberi judul “Pencak Bondan”.

Pencak Bondan mengisahkan tentang hilangnya demokrasi, tertindasnya rakyat kecil yang merindukan kemakmuran hidup, perebutan kekuasaan oleh para penguasa dan keserakahan penguasa yang semakin menjadi. Kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat semakin menyengsarakan kehidupan rakyat kecil, harapan untuk hidup lebih baik hilang ditelan kesewenang-wenangan. Persaingan dan pertarungan terjadi di kalangan elite memperebutkan kejayaan, perkelahian tak terelakkan terjadi pada kaum bawah yang ingin mempertahankan hidup memperebutkan sebuah harapan kecil.

Konsep cerita Pencak Bondan didukung dengan permainan silat, gerak tari, olah karakter para pemain drama, geguritan (puisi bahasa Jawa) dan permainan musik gamelan yang menyesuaikan dengan suasana. Semuanya ditata sedemikian rupa hingga menghasilkan karya yang pantas untuk disajikan dalam bentuk pertunjukan.

Keunikan dari pertunjukan ini adalah selain dua orang kembar yang bertarung menggunakan senjata berupa toya dan golok, ada juga pemain yang menyajikan tarian Bondan dengan berdiri di atas kendi sambil membawa ular kobra (kendi berisi air menggambarkan suatu kemakmuran atau sumber kehidupan rakyat, ular kobra sebagai gambaran keserakahan atau buasnya kekuasaan yang salah).

Jika dilihat dari singkatnya proses latihan, di satu sisi memang terlihat nekat atau bahkan bisa dikatakan terlalu memaksakan diri untuk tampil. Tetapi di sisi lain kami mengambil pelajaran luar biasa yang sebelumnya belum pernah kami alami. Pelajaran memecahkan masalah bersama, memupuk kekompakan untuk memperkaya ide dalam berkarya, berani mengambil sikap dengan cepat dan tepat untuk kepentingan bersama, memperkaya wawasan tentang dunia seni modern dan tradisi.

Dari berbagai proses yang telah kami lalui, kami pun menyimpulkan bahwa kesenian bagi kami saat itu bukan hanya sebagai Urgensi (suatu keharusan yang mendesak) karena tuntutan tugas, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan jiwa. Kebutuhan jiwa di bidang seni untuk lebih memacu dalam mencapai kualitas karya yang terbaik. Dan menjadi yang terbaik tidak harus melalui proses panjang, tetapi keinginan yang besar dilandasi dengan keyakinan serta kerja keras adalah sebagai salah satu kuncinya.

Mojoagung, 2 Februari 2010
Cak Poer