BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Alief Art Production

<< Mencari -- Memberi -- Menerima >>

Pencarian

Senin, 21 Februari 2011

KETIKA WEWE GOMBEL ADA DI RUMAH KITA

Kasih ibu kepada beta

tak terhingga sepanjang masa

hanya memberi tak harap kembali

bagai sang surya menyinari dunia.

Terdengar suara anak menyanyikan lagu pujian untuk sang bunda dari belakang panggung. Semangat, walau terasa usahanya untuk menutupi suaranya yang memang mendekati “sumbang”. Tiba-tiba terhenti karena hardikan keras dari aktor yang sebelumnya sudah berakting di atas panggung. “Berisiik! Bellaa diaaaam! Sinetronnya sudah mulai, diaam,” sambil memainkan remote televisi di tangannya. Seolah ‘mama’ yang satu ini tak peduli dengan lagu itu untuk siapa, dinyanyikan karena apa dan siapa yang menyanyikan, apalagi sampai merenungkan esensi secara mendalam dari lagu tersebut. Barangkali dalam benak sang mama tak lebih dari suara bising mesin giling padi keliling yang mengalahkan suara sinetron di TV yang sedang dipelototinya. Saya pun berpikir dan akhirnya menerka, anak itu bernyanyi karena memang ibunya tak kan habis kasih sayangnya kepada dia sampai seribu tahun lamanya, ataukah itu hanya sindiran halus kepada sang ibu? Sebelum terlalu dalam menerka, saya bunuh yang terakhir ini, mana mungkin anak kecil sudah mengerti bahasa sarcasm/sindiran. Juga, sindiran sudah tak mempan di era sekarang ini, apalagi yang ‘halus-halus’.















(Gbr. 1: Adegan seorang ibu yang merasa terganggu dengan tingkah laku anak-anak)

Adegan tersebut di atas, adalah salah satu adegan yang, ‘jujur’ mengusik saya diantara sekian banyak adegan yang disajikan oleh Teater Wadtera SMP 1 Mojoagung, dalam lakon yang mereka mainkan, Wewe Gombel *) naskah MS Nugroho, pertunjukan dalam rangka hajatan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) Komite Teater, Hibah Teater Kompetitif beberapa bulan yang lalu di PSBR Jombang. Kenapa harus memilih naskah ini? Terlepas dari hak prerogatif sutradara, keputusan yang menimbulkan kesan mengekor tradisi perfilman Indonesia yang cenderung menggunakan idiom hantu dalam setiap judulnya. Atau yang lebih su’udzon lagi, adanya pertimbangan faktor orientasi selera pasar, pertunjukan tersebut menjual atau tidak. Meskipun even pertunjukannya bersifat gratis terbuka untuk umum. Nah, saya menduga karena lakon ini menjual di hadapan juri, karena dasarnya Hibah Teater Kompetitif adalah perlombaan, untuk mencari yang terbaik, menentukan kelompok teater mana yang berhak mendapatkan dana hibahnya.

Gunawan Mariyanto, pegiat teater Garasi Yogjakarta, salah satu juri selain Henri Nurcahyo, esais Surabaya, pada saat diskusi menyatakan bahwa salah satu hal yang menarik dari pertunjukan teater ini adalah pemilihan naskah yang tepat, sensitif dengan kondisi jaman, tidak muluk-muluk, sederhana sekaligus mengena. Mengkritisi beberapa kelompok penyaji yang menentukan pilihan pada naskah berat, yang pada akhirnya menjadi bumerang sendiri bagi sutradara dalam menghidupkan naskah, yaitu: memahami, memaknai dan menafsirkannya dalam bentuk visualisasi di atas panggung, penafsiran yang keliru. Barangkali karena pertimbangan tersebut, yang masih menurut Gunawan Mariyanto, andaikan tidak ada kategori pemenang (kategori SD, SMP, SMA, Mahasiswa dan umum), dari 12 penyaji, pemenangnya adalah dari teater SMP (teater Wadtera).

Wewe Gombel dan sinetron kita

Saya tidak akan ngomong tentang wewe gombel yang pernah disinetronkan dan ditayangkan di salah satu stasiun televisi, bahkan diantara anda mungkin pernah menontonnya, karena ngomong itu sama saja dengan membiarkan diri saya sakit hati atau menyakiti diri sendiri. “Wewe Gombel” telah diseret ke budaya pop televisi tanpa ampun. Mulai dari mencabik-cabik cerita sesungguhnya, meniadakan kajian aspek pendukung, sampai penggambaran sosok Wewe Gombel yang ‘semau gue’ imajinasi bebas tim artistik yang tidak bertanggung jawab. Rambut gimbal, muka di make up terkesan penuh luka, baju compang–camping, yang seharusnya dengan efek cahaya, kamera dan visual effect komputer, Wewe Gombel lebih terkesan hidup bukan lebih mirip seorang gembel.

Wewe Gombel adalah sejenis hantu yang mempunyai tubuh menakutkan, baju lusuh dan (ma’af) mempunyai payudara yang menjuntai ke bawah sampai ke tanah. Ber‘profesi’ menculik anak, yang secara kebetulan sedang bermasalah dengan orang tuanya, kasus yang sering terjadi, ketika usai dimarahi oleh ibunya. Modusnya Wewe Gombel menyamar menjadi orang terdekat sang anak, mengajaknya bermain atau memberikan sesuatu yg menarik kepadanya. Setting waktu penculikan adalah saat surup atau pergantian dari siang ke malam, lantas hilangnya sang anak oleh masyarakat Jawa disebut ‘kalap’. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak tersebut adalah pencarian ke tempat-tempat wingit/angker sambil membunyikan tetabuhan alat musik dapur. Apabila ditemukan, biasanya anak kemudian mengalami kekurangan pada pertumbuhan fisik atau mentalnya.







(Gbr. 2: Adegan perebutan anak antara Wewe Gombel dan Ibu)

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa Wewe Gombel adalah tokoh rekaan orang tua jaman dulu. Bertujuan untuk melindungi anak dari serangan binatang buas pada malam hari. Agar mereka tetap bertahan didalam rumah, ngaji atau belajar. Kalau jaman sekarang, supaya sang anak cepat tidur di kamar atau menemani ibunya nonton sinetron. Lho?

Wewe Gombel naskah drama

Naskah yang ‘nakal’, tidak ada literatur manapun yang menyebutkan bahwa Wewe Gombel dan Genderuwo pernah melangsungkan pernikahan baik itu secara siri atau resmi/KUA. Tapi disini penulis naskah dengan berani menjadi moden menikahkan keduanya. Wewe gombel dan genderuwo diposisikan menjadi tokoh surealis. Menjadi pasangan yang mandul, menikah ribuan tahun dan tanpa anak.

Di sisi yang lain, manusia beranak pinak tapi beberapa diantaranya menyia-nyiakannya, digambarkan tokoh single parent “mama” dengan anaknya “Bella”. Bella anak yang cerdas, tapi sayang mempunyai mama yang tidak berkualitas. Setiap hari sibuk dengan urusan pekerjaan, dan sisanya dia gunakan dengan duduk berjam-jam di depan televisi menjadi ‘sinetron-holic’ kelas berat. Menutup mata dari kesimpulan hasil survei Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia dan beberapa pihak terkait bahwa progam sinetron lemah dalam meningkatkan empati sosial, tidak mencontohkan model perilaku yang baik, tidak bebas pornografi dan penuh adegan kekerasan.

Lebih menarik lagi, ketika sang anak merasa nyaman ketika di adopsi oleh Wewe Gombel dan sang anak tidak mau kembali kepada mamanya dengan alasan mamanya jahat dan suka memukul, walau pada akhirnya sang mama menyadari kesalahannya. Ironis, gambaran kondisi masyarakat kita sekarang, anak tidak lebih berharga dari kesenangan pribadi dan “keranjang sampah” sebuah sebutan yang nyentrik dari kaum yang muak dengan acara televisi. Benar-benar memuakkan, lahir batin.

Pertunjukan ditutup dengan adegan sang mama menghajar televisi dengan pemukul kasur, ”Kaulah Wewe Gombel, kaulah Wewe Gombel sebenarnya! Kaulah yang menculik anak-anak di seluruh dunia. Kaulah Wewe Gombel itu!”

Kalau memang Wewe Gombel sudah menjelma menjadi televisi di rumah kita, lantas selanjutnya apalagi yang akan menyusul?

*) ”Wewe Gombel” dicetak dengan beberapa naskah drama yang lain dalam Kumpulan Naskah Drama “Dewa Mabuk” terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur 2010.

Penulis:

Bei Singotomo

Pelaku teater dan penikmat seni, sekarang aktif di kelompok Alief Mojoagung.

Kamis, 03 Februari 2011




















Info Acara:
Pentas Mandiri Teater Wadtera SMP Negeri 1 Mojoagung 2011



1. WEWE GOMBEL naskah: MS Nugroho, Sutradara: B.Irawan & Edi H
2. KEBLOBOK naskah: Edi H, Sutradara: Sigit Yitmono Aji.

Hari Minggu, 6 Februari 2011. Di Aula Ruang Serba Guna SMPN1 Mojoagung, pukul 08.30 WIB dan 14.00 WIB. (Satu sesi, dua pertunjukan)

HTM: Rp 4.000,-
CP: B. Irawan (08563334900), Edi H (0321-4170555)

Puisi


Racun Kopi

Zaenal Faudin

Di dingin malam dengan gerimis
kantuk dan sendu mesti ku tepis
sedikit perjuangan dengan kopi kental dalam cangkir
berkerak sisa kantuk dan sendu yang sama

Mungkin jadi mabuk setelah ini
kepala terhuyung, tak tahu apakah tangis atau tawa
ketika betah terjaga, mendapati gerimis pagi
menerpa daun Jati yang bersemi lagi musim ini
keringat mengucur, mungkin ia gunung es
yang meleleh setelah mendinginkan magma kopi
lunturkan sekalian kerak kantuk sendu

Gerimis diluar dan keringat dingin sama mengucur
mungkin benar aku mabuk sekarang
terlepas dari kantuk dan kesenduan
tapi aku bisa mengenalimu dalam rasa kopi hitam pekat

Mojoagung, 31 Desember 2010