BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Alief Art Production

<< Mencari -- Memberi -- Menerima >>

Pencarian

Rabu, 17 Oktober 2012

Numpang Pentas di Bara Unggun

Numpang Pentas di Bara Unggun
Oleh: Purwanto*

Sekali lagi saya menyaksikan sebuah fenomena geliat kegiatan teater pelajar yang cukup menarik di Mojoagung Jombang. Tidak sekadar bentuk pertunjukannya, tetapi juga konstruksi suasana yang sengaja dibangun dalam ranah berkesenian. Sekumpulan siswa SMP bermain drama di antara gemeretak suara kayu terbakar. Mencoba menaklukkan ruang terbuka dengan suara dan gerak lincah mereka. Menyedot perhatian berpasang-pasang mata yang berjajar mengelilinginya.
Fenomena ini lahir dan terjadi dengan banyak alasan yang bisa mendasarinya.  Alasan pertama adalah karena keinginan mereka untuk memperkenalkan diri sebagai komunitas teater dalam lingkungan sekolahnya. Kedua, sekadar numpang lewat dan unjuk gigi pada teman dengan cara menunjukkan bakat bermain peran. Ketiga, mumpung ada ruang yang bisa digunakan sebagai media pertunjukan. Keempat, sebuah pertanyaan, masih adakah yang mau ikut kegiatan teater di kemudian?

Persoalan Teater Pelajar
Dari beberapa alasan di atas, saya tertarik dengan alasan yang keempat untuk dibicarakan, yaitu ”pertanyaan”. Inilah persoalan. Di tengah maraknya perkembangan teknologi dan informasi seperti saat ini, apakah teater masih diminati oleh kalangan pelajar? Meski di sekolah sudah ada ekstrakurikuler teater, masih adakah yang menganggap bahwa teater itu menarik? Lalu, seberapa banyak siswa yang masih bertahan di dalamnya? Paling tidak inilah sekelumit masalah yang bisa terekam bila kita melongok ke dalam arus jalannya kegiatan teater di sekolah.
Memang tidak semua instansi sekolah memiliki ekstrakurikuler teater, walaupun kurikulum memberi kesempatan untuk itu. Namun demikian, sekolah-sekolah yang memberi ruang untuk tumbuhnya kegiatan teater pun belum tentu bisa mempertahankan keberlangsungan kegiatannya.
Sepanjang pengamatan saya selama ini, kegiatan teater di sekolah (terutama pada tingkat SMP dan SMA di Mojoagung) memang mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Hal ini bisa dilihat pada tingkat minat siswa terhadap kegiatan tersebut. Banyak siswa yang masuk dan mengikuti kegiatan teater di awal tahun mereka sekolah, tapi banyak juga yang enggan lagi mengikuti setelah beberapa waktu terlibat di dalamnya. Tentu ini menjadi satu tanda tanya, dan tentu saja bukan berarti tanpa jawaban.
Banyak hal yang harus dijawab, terutama oleh pihak-pihak yang terlibat dan bersinggungan langsung dengan kegiatan teater dalam lingkungan sekolah. Selain para pelajar, tentu saja para pelatih, guru, dan kepala sekolah memiliki peran atas keberlangsungan kegiatan teater di sekolah. Eksistensi kelompok teater dalam lingkungan sekolah tidak hanya terlihat pada intensitas latihan saja, tetapi mengadakan suatu pertunjukan dari hasil latihannya juga sangat penting digalakkan. Maka dukungan dari seluruh elemen sekolah sangat diperlukan.
Sering saya jumpai siswa yang benar-benar berminat mengikuti kegiatan teater tidak bisa aktif mengikuti latihan. Alasannya beragam. Tetapi yang paling sering saya dengar adalah jadwal latihan berbenturan dengan jadwal tambahan pelajaran di sekolah. Lambat laun kondisi yang terus menerus seperti ini semakin membuat siswa bosan. Akibatnya mereka tidak konsentrasi dalam belajarnya karena ada ketidakikhlasan dalam belajar. Lebih dari itu, mereka pun akhirnya tidak lagi berminat untuk sekadar nimbrung dalam kegiatan teater, karena takut tertinggal pelajaran.
Sebenarnya masih banyak lagi persoalan yang membuat kondisi teater di beberapa sekolah tidak bisa tumbuh dengan baik. Sekian banyak pelajar meninggalkan kegiatan teater karena mereka menganggap bahwa kegiatan ini tidak lebih menyenangkan dari bermain PS (play station) atau online di warnet. Kondisi terburuk yang pernah saya jumpai adalah kegiatan teater berhenti total karena ketidak-akuran antara pelatih teater dengan pihak sekolah. Pada akhirnya seolah ada ”pengharaman” pada setiap aktivitas di sekolah yang berbau teater.
Faktor-faktor tersebut bertambah komplit dengan jarangnya kompetisi teater pelajar –baik tingkat  kecamatan, kabupaten, dan atau provinsi. Sehingga kurang adanya semangat berkarya pada masing-masing pangkalan teater pelajar. Bahkan sering terjadi kemunculan ”kelompok teater siluman”, yaitu kelompok teater yang hidup pada saat ada kompetisi. Setelah kompetisi selesai, hilang juga kelompok tersebut. Kondisi seperti ini paling tidak memberi gambaran bagaimana langkah yang harus ditempuh –pihak sekolah, pelajar, pelatih, dinas pendidikan, dewan kesenian- agar teater sebagai salah satu bentuk pendidikan bisa terus bertumbuh secara sehat.

Numpang Pentas untuk Promosi
Beragam permasalahan yang dialami oleh kelompok teater pelajar di sekolah, ternyata dialami juga oleh kegiatan ekstrakurikuler yang lain. Secara spesifik permasalahannya tentu berbeda, tetapi secara umum problematikanya sama. Hal yang paling dominan adalah tingkat minat pelajar terhadap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dari persoalan yang ada, pemecahannya yang harus ditemukan. Setidaknya celah-celah untuk memberi solusi harus diciptakan. Sehingga permasalahan tersebut tidak semakin mempercepat “kematian kelompok-kelompok teater pelajar”.
Di SMPN 1 Mojoagung, sekelompok siswa yang tergabung dalam teater Wadtera ternyata mulai memikirkan hal itu. Mengikuti latihan rutin seminggu sekali di sekolah membuat mereka merasa tertantang untuk menyuguhkan hasil latihannya di ruang publik. Tidak puas hanya menampilkan karya di acara-acara khusus kegiatan kesenian (misalnya: pentas mandiri, lomba teater, pentas di acara kesenian tertentu), mereka pun memanfaatkan segala bentuk kegiatan yang bisa digunakan untuk berpentas.
Seperti yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu [15 September 2012], teater Wadtera tampil dengan drama komedinya di tengah semarak kegiatan Persami Pramuka SMPN 1 Mojoagung. Kegiatan penyulutan api unggun yang digelar pada acara tersebut dimanfaatkan oleh teater Wadtera untuk unjuk kebolehan di depan teman-teman satu sekolahnya.
Jaka Kendil Mencari Cinta, itulah judul drama yang mereka sajikan malam itu. Disutradarai oleh Matahari Adihapsari S. B. (salah satu anggota Wadtera, kelas 8), drama komedi ini berhasil menghidupkan suasana. Guyonan yang mereka bawakan menciptakan tawa dan keakraban. Semakin hidup lagi ketika para aktor yang terlibat dalam pementasan selalu berinteraksi dengan penonton yang notabene bukan anggota teater.
Keprihatinan saya terhadap permasalahan di tubuh teater pelajar selama ini sedikit berkurang saat melihat pementasan ini. Dengan berbekal semangat untuk nguri-uri kegiatan yang bermanfaat, anak-anak ini berusaha tampil sebaik mungkin. Hal ini semata-mata untuk memperkenalkan kepada khalayak bahwa teater itu menarik dan menyenangkan.
Akhirnya numpang pentas usai. Sorak dan tepuk tangan penonton riuh di lapangan. Semua pemain terlihat lega. Di balik kelegaan itu muncul lagi pertanyaan di benak saya, ”Kira-kira sampai kapan mereka akan bertahan?”


*) Mahasiswa Prodi PBSI STKIP PGRI Jombang angkatan tahun 2009 dan aktif di Kelompok Alief Mojoagung