BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Alief Art Production

<< Mencari -- Memberi -- Menerima >>

Pencarian

Senin, 01 Agustus 2011

Kumpulan Puisi "Ladrang Rarangis"












KATA PENGANTAR

Sastra merupakan sesuatu yang bersifat universal, sehingga, ketika membicarakannya selalu ada yang menarik untuk dijadikan topik lanjutan perbincangan. Berawal dari obrolan ringan tentang cerpen, novel, fiksi mini, puisi, dan teater setelah mengikuti acara bedah buku, timbul suatu semangat untuk berkesenian dengan lebih baik. Memupuk sikap apresiatif terhadap karya dari teman dan orang-orang terdekat menjadi sasaran utama untuk langkah awal. Termasuk bertukar karya untuk sekedar saling mengkritisi.

Obrolan bertambah seru, ketika menemukan satu titik pembicaraan tentang realita perkembangan sastra dalam masyarakat. Yang ternyata menjadi permasalahan klasik, mengapa sastra kurang diminati oleh masyarakat secara umum. Tanpa disadari, permasalahan-permasalahan itu menjadi gesekan dalam hati kami. Gesekan berupa pertarungan antara keinginan untuk menumbuhkembangkan sastra dan rendahnya daya cipta pada diri. Yang, mau atau tidak, memaksa kami untuk membuktikan bahwa kami memiliki daya cipta untuk berkarya yang bisa menjadi alternatif suguhan seni (sastra).

Buku kumpulan puisi “Ladrang Rarangis” ini adalah salah satu wujud dari hasil obrolan singkat itu. Hasil dari muntahan ide pikir yang terbalut dalam bentuk puisi orang-orang terdekat. Puisi-puisi dalam buku ini sebenarnya lebih pada persembahan tulus dari hati. Untuk perkembangan sastra pada umumnya, dan kepada sahabat (Bambang Irawan dan Yeni Rosida) yang akan melangkah memasuki kehidupan baru di atas “singgasana pernikahannya”.

Rasa terima kasih yang mendalam kami sampaikan tentunya kepada Allah SWT, atas nikmat pemikiran hingga kami bisa melahirkan ide kreatif penyusunan buku ini. Terima kasih juga kepada Mas Anug (M.S. Nugroho), atas motivasi yang diberikan dengan segala fasilitasnya. Tidak lupa pula, terima kasih kepada seluruh penulis yang bersedia menyumbangkan karyanya dalam buku ini.

Harapan selanjutnya, dengan terbitnya buku kumpulan puisi “Ladrang Rarangis” adalah agar sastra bisa dinikmati dalam berbagai bentuk, di manapun, dan oleh siapa pun.. Tidak hanya dalam ruang-ruang perpustakaan atau sekolah, tetapi sangat memungkinkan dalam bentuk lain (salah satunya; ruang publik dalam acara pernikahan).

Ruang tamu Mas Anug, 9 April 2011

Cak Pur

[Puisi-puisi akan dibacakan pada acara pesta pernikahan Bambang Irawan & Yeni Rosida]


Daftar Isi

Halaman Persembahan …………………………………………… i

Kata Pengantar ……………………………………………………….. v

Alya Hima

Puisi Pernikahan ………………………………………………….. 1

Bambang Kawin …………………………………………………… 3

Kali Di Hutan ……………………………………………………….. 4

Arya Esa Mahadewa

Werdining Katresnan ………………………………………… 6

Cak Pur

Epilog Pengembara ……………………………………………. 8

Fahrudin Nasrulloh

Ladrang Rarangis ………………………………………………… 10

Gandis Uka

Seratus Saksi Seribu Do’a ………………………………….. 11

Liestyo Ambarwati Kohar

Musim Yang Memabukkan ………………………………… 13

Jejak Sajak …………………………………………………………. 14

Muhammad Suyono

……………………………………………………………………………. 15

Hijau ………………………………………………………………….. 16

Sabrank Suparno

Wajahmu Hemisphere ……………………………………… 17

Samar

…………………………………………………………………………… 19

Sigit Yitmono Aji

Aku Menikah …………………………………………………….. 20

“Ah” …………………………………………………………………… 21

Pesta Persandingan …………………………………………… 22

Siti Sa’adah

Muara ………………………………………………………………… 23

Umi Khofsoh

Nikah …………………………………………………………………… 24

Zaenal Faudin

Soneta Ombak Malam Hari ………………………………… 26

Prasasti ………………………………………………………………… 27

Biodata Penulis …………………………………………………… 28






















Senin, 21 Februari 2011

KETIKA WEWE GOMBEL ADA DI RUMAH KITA

Kasih ibu kepada beta

tak terhingga sepanjang masa

hanya memberi tak harap kembali

bagai sang surya menyinari dunia.

Terdengar suara anak menyanyikan lagu pujian untuk sang bunda dari belakang panggung. Semangat, walau terasa usahanya untuk menutupi suaranya yang memang mendekati “sumbang”. Tiba-tiba terhenti karena hardikan keras dari aktor yang sebelumnya sudah berakting di atas panggung. “Berisiik! Bellaa diaaaam! Sinetronnya sudah mulai, diaam,” sambil memainkan remote televisi di tangannya. Seolah ‘mama’ yang satu ini tak peduli dengan lagu itu untuk siapa, dinyanyikan karena apa dan siapa yang menyanyikan, apalagi sampai merenungkan esensi secara mendalam dari lagu tersebut. Barangkali dalam benak sang mama tak lebih dari suara bising mesin giling padi keliling yang mengalahkan suara sinetron di TV yang sedang dipelototinya. Saya pun berpikir dan akhirnya menerka, anak itu bernyanyi karena memang ibunya tak kan habis kasih sayangnya kepada dia sampai seribu tahun lamanya, ataukah itu hanya sindiran halus kepada sang ibu? Sebelum terlalu dalam menerka, saya bunuh yang terakhir ini, mana mungkin anak kecil sudah mengerti bahasa sarcasm/sindiran. Juga, sindiran sudah tak mempan di era sekarang ini, apalagi yang ‘halus-halus’.















(Gbr. 1: Adegan seorang ibu yang merasa terganggu dengan tingkah laku anak-anak)

Adegan tersebut di atas, adalah salah satu adegan yang, ‘jujur’ mengusik saya diantara sekian banyak adegan yang disajikan oleh Teater Wadtera SMP 1 Mojoagung, dalam lakon yang mereka mainkan, Wewe Gombel *) naskah MS Nugroho, pertunjukan dalam rangka hajatan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) Komite Teater, Hibah Teater Kompetitif beberapa bulan yang lalu di PSBR Jombang. Kenapa harus memilih naskah ini? Terlepas dari hak prerogatif sutradara, keputusan yang menimbulkan kesan mengekor tradisi perfilman Indonesia yang cenderung menggunakan idiom hantu dalam setiap judulnya. Atau yang lebih su’udzon lagi, adanya pertimbangan faktor orientasi selera pasar, pertunjukan tersebut menjual atau tidak. Meskipun even pertunjukannya bersifat gratis terbuka untuk umum. Nah, saya menduga karena lakon ini menjual di hadapan juri, karena dasarnya Hibah Teater Kompetitif adalah perlombaan, untuk mencari yang terbaik, menentukan kelompok teater mana yang berhak mendapatkan dana hibahnya.

Gunawan Mariyanto, pegiat teater Garasi Yogjakarta, salah satu juri selain Henri Nurcahyo, esais Surabaya, pada saat diskusi menyatakan bahwa salah satu hal yang menarik dari pertunjukan teater ini adalah pemilihan naskah yang tepat, sensitif dengan kondisi jaman, tidak muluk-muluk, sederhana sekaligus mengena. Mengkritisi beberapa kelompok penyaji yang menentukan pilihan pada naskah berat, yang pada akhirnya menjadi bumerang sendiri bagi sutradara dalam menghidupkan naskah, yaitu: memahami, memaknai dan menafsirkannya dalam bentuk visualisasi di atas panggung, penafsiran yang keliru. Barangkali karena pertimbangan tersebut, yang masih menurut Gunawan Mariyanto, andaikan tidak ada kategori pemenang (kategori SD, SMP, SMA, Mahasiswa dan umum), dari 12 penyaji, pemenangnya adalah dari teater SMP (teater Wadtera).

Wewe Gombel dan sinetron kita

Saya tidak akan ngomong tentang wewe gombel yang pernah disinetronkan dan ditayangkan di salah satu stasiun televisi, bahkan diantara anda mungkin pernah menontonnya, karena ngomong itu sama saja dengan membiarkan diri saya sakit hati atau menyakiti diri sendiri. “Wewe Gombel” telah diseret ke budaya pop televisi tanpa ampun. Mulai dari mencabik-cabik cerita sesungguhnya, meniadakan kajian aspek pendukung, sampai penggambaran sosok Wewe Gombel yang ‘semau gue’ imajinasi bebas tim artistik yang tidak bertanggung jawab. Rambut gimbal, muka di make up terkesan penuh luka, baju compang–camping, yang seharusnya dengan efek cahaya, kamera dan visual effect komputer, Wewe Gombel lebih terkesan hidup bukan lebih mirip seorang gembel.

Wewe Gombel adalah sejenis hantu yang mempunyai tubuh menakutkan, baju lusuh dan (ma’af) mempunyai payudara yang menjuntai ke bawah sampai ke tanah. Ber‘profesi’ menculik anak, yang secara kebetulan sedang bermasalah dengan orang tuanya, kasus yang sering terjadi, ketika usai dimarahi oleh ibunya. Modusnya Wewe Gombel menyamar menjadi orang terdekat sang anak, mengajaknya bermain atau memberikan sesuatu yg menarik kepadanya. Setting waktu penculikan adalah saat surup atau pergantian dari siang ke malam, lantas hilangnya sang anak oleh masyarakat Jawa disebut ‘kalap’. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak tersebut adalah pencarian ke tempat-tempat wingit/angker sambil membunyikan tetabuhan alat musik dapur. Apabila ditemukan, biasanya anak kemudian mengalami kekurangan pada pertumbuhan fisik atau mentalnya.







(Gbr. 2: Adegan perebutan anak antara Wewe Gombel dan Ibu)

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa Wewe Gombel adalah tokoh rekaan orang tua jaman dulu. Bertujuan untuk melindungi anak dari serangan binatang buas pada malam hari. Agar mereka tetap bertahan didalam rumah, ngaji atau belajar. Kalau jaman sekarang, supaya sang anak cepat tidur di kamar atau menemani ibunya nonton sinetron. Lho?

Wewe Gombel naskah drama

Naskah yang ‘nakal’, tidak ada literatur manapun yang menyebutkan bahwa Wewe Gombel dan Genderuwo pernah melangsungkan pernikahan baik itu secara siri atau resmi/KUA. Tapi disini penulis naskah dengan berani menjadi moden menikahkan keduanya. Wewe gombel dan genderuwo diposisikan menjadi tokoh surealis. Menjadi pasangan yang mandul, menikah ribuan tahun dan tanpa anak.

Di sisi yang lain, manusia beranak pinak tapi beberapa diantaranya menyia-nyiakannya, digambarkan tokoh single parent “mama” dengan anaknya “Bella”. Bella anak yang cerdas, tapi sayang mempunyai mama yang tidak berkualitas. Setiap hari sibuk dengan urusan pekerjaan, dan sisanya dia gunakan dengan duduk berjam-jam di depan televisi menjadi ‘sinetron-holic’ kelas berat. Menutup mata dari kesimpulan hasil survei Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia dan beberapa pihak terkait bahwa progam sinetron lemah dalam meningkatkan empati sosial, tidak mencontohkan model perilaku yang baik, tidak bebas pornografi dan penuh adegan kekerasan.

Lebih menarik lagi, ketika sang anak merasa nyaman ketika di adopsi oleh Wewe Gombel dan sang anak tidak mau kembali kepada mamanya dengan alasan mamanya jahat dan suka memukul, walau pada akhirnya sang mama menyadari kesalahannya. Ironis, gambaran kondisi masyarakat kita sekarang, anak tidak lebih berharga dari kesenangan pribadi dan “keranjang sampah” sebuah sebutan yang nyentrik dari kaum yang muak dengan acara televisi. Benar-benar memuakkan, lahir batin.

Pertunjukan ditutup dengan adegan sang mama menghajar televisi dengan pemukul kasur, ”Kaulah Wewe Gombel, kaulah Wewe Gombel sebenarnya! Kaulah yang menculik anak-anak di seluruh dunia. Kaulah Wewe Gombel itu!”

Kalau memang Wewe Gombel sudah menjelma menjadi televisi di rumah kita, lantas selanjutnya apalagi yang akan menyusul?

*) ”Wewe Gombel” dicetak dengan beberapa naskah drama yang lain dalam Kumpulan Naskah Drama “Dewa Mabuk” terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur 2010.

Penulis:

Bei Singotomo

Pelaku teater dan penikmat seni, sekarang aktif di kelompok Alief Mojoagung.

Kamis, 03 Februari 2011




















Info Acara:
Pentas Mandiri Teater Wadtera SMP Negeri 1 Mojoagung 2011



1. WEWE GOMBEL naskah: MS Nugroho, Sutradara: B.Irawan & Edi H
2. KEBLOBOK naskah: Edi H, Sutradara: Sigit Yitmono Aji.

Hari Minggu, 6 Februari 2011. Di Aula Ruang Serba Guna SMPN1 Mojoagung, pukul 08.30 WIB dan 14.00 WIB. (Satu sesi, dua pertunjukan)

HTM: Rp 4.000,-
CP: B. Irawan (08563334900), Edi H (0321-4170555)

Puisi


Racun Kopi

Zaenal Faudin

Di dingin malam dengan gerimis
kantuk dan sendu mesti ku tepis
sedikit perjuangan dengan kopi kental dalam cangkir
berkerak sisa kantuk dan sendu yang sama

Mungkin jadi mabuk setelah ini
kepala terhuyung, tak tahu apakah tangis atau tawa
ketika betah terjaga, mendapati gerimis pagi
menerpa daun Jati yang bersemi lagi musim ini
keringat mengucur, mungkin ia gunung es
yang meleleh setelah mendinginkan magma kopi
lunturkan sekalian kerak kantuk sendu

Gerimis diluar dan keringat dingin sama mengucur
mungkin benar aku mabuk sekarang
terlepas dari kantuk dan kesenduan
tapi aku bisa mengenalimu dalam rasa kopi hitam pekat

Mojoagung, 31 Desember 2010

Rabu, 19 Januari 2011








ANTOLOGI PUISI KELOMPOK ALIEF MOJOAGUNG

Pengantar

Kelompok Alif didirikan sengaja untuk menampung berbagai kreativitas dan ekspresi anggotanya. Dari berteater, bermusik, menulis, sampai pada pembuatan kerajinan yang bersifat komersial.

Nama Alif dipilih mungkin karena sebuah semangat. Semangat untuk memulai sesuatu yang baik, semangat untuk belajar, dan tentu untuk tidak bersombong diri.

Pun untuk ini kali. Antologi puisi bersama lahir karena semangat silaturahmi sastra. Membuat dialog yang multi arah untuk memekarkan bunga-bunga sastra yang indah. Dan kupu-kupu kata-kata mungkin akan menggetarkan serbuk benang sari pemikiran ke pangkuan putik perasaan, yang pada akhirnya akan membuahkan kebudayaan yang berbiji kebijaksanaan.

Alhamdulillah. Lahirlah Facebrick.

Tangkapan saya facebrick itu sama dengan rai gedhek dalam ungkapan jawa. Bentuk sindiran terhadap kehidupan yang kehilangan kepekaan sosial dan lingkungannya. Kehidupan yang tergerus komersialisme, hedonisme, permisifisme, dan seterusnya. Kehidupan yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan, filsafat, dan agama.... Atau tidak sebegitu amat. Facebrick itu mungkin hanya istilah untuk menunjukkan bahwa antologi ini kumpulan dari karya-karya dari beberapa anak. Suatu montage wajah penulisnya dalam puisi. Suatu susunan karakter yang membentuk bangunan karakter yang lebih besar.... Yang jelas antologi puisi facebrick ini menyentil maraknya penggunaan jejaring sosial di internet, yang mulai mengerosi jejaring sosial sesungguhnya.

Lihatlah misalnya puisi atau geguritan Arya Esa Mahadewa “Lumampahing Jaman” yang mengkonfrontasikan teknologi dan tradisi sekaligus mengusulkan jalan tengahnya. Sementara Liestyo Ambar Wati Khohar dan Purwanto lebih melihat renik-renik kehidupan sosial dari sisi yang kelam. B. Irawan, Sigit Yitmono Aji dan Umi Khofshoh masih asyik dengan kegamangannya dalam pencarian jati dirinya. Zaenal Faudin sudah menangkap adegan-adegan kehidupannya menjadi puisi-puisi yang mulai berasa, meskipun masih belum beraroma.

Keseluruhan puisi dalam antologi Facebrick ini mengikuti irama para remaja mencari eksistensinya di tingkah perkembangan zaman yang silang sengkarut. Antologi ini juga membawa sekado hal positif dari kelompok remaja pinggiran area Jombang di perhelatan zaman edan.

Selamat. Saya tunggu karya yang menohok zaman. Lebih tajam.... Lebih dalam.... Ah....

Mojoagung, 15 November 2010, menjelang hari raya kurban,

M.S. Nugroho

---------------

Daftar Isi Facebrick

Pengantar – iii

Daftar Isi – v

Lumampahing Jaman (Arya Esa Mahadewa) ................... 1

Pitakon Ku (Arya Esa Mahadewa) ...................................... 3

Tandha Katresnan ku (Arya Esa Mahadewa) ................... 4

Tuntunan Dosa (B. Irawan) .................................................. 5

Telanjang (B. Irawan) ............................................................ 6

Bingung (B. Irawan) ............................................................... 7

Bersulang dengan Laila (Liestyo Ambarwati Kohar) ....... 8

Catatan untuk Mamah (Liestyo Ambarwati Kohar) ........ 9

Kota Tua (Liestyo Ambarwati Kohar) .............................. 10

Tarian Sebelum Maghrib(Liestyo Ambarwati Kohar) ... 11

Untuk Yamie dan Nulie (Liestyo Ambarwati Kohar) ..... 12

Semakin Gila (Purwanto) .................................................... 13

Ketika Kau Berlari (Purwanto) .......................................... 14

Tak Punya Muka (Purwanto) ............................................ 15

Menanti Subuh (Purwanto) ............................................... 16

Kongres Bekicot (Purwanto) .............................................. 17

Warna (Sigit Yitmono Aji) .................................................. 18

Ajiku Aji (Sigit Yitmono Aji) .............................................. 19

Guyonan Belaka untuk Suamiku (Umi Khofsoh) ............ 20

Soneta Ketika Berumur 26 Tahun (Zaenal Faudin) ...... 22

Botol-botol Kosong (Zaenal Faudin) ................................ 23

Perhitungan Hutang (Zaenal Faudin) ............................. 24

Baik-baik saja (Zaenal Faudin) ........................................ 25

Iseng (Zaenal Faudin) ....................................................... 26

Kata Berpisah dan Selamat Tinggal (Zaenal Faudin) ... 27

Koma (Zaenal Faudin) ...................................................... 28

-------------------


Biodata penulis

Arya Esa Mahadewa, Seniman berambut nggedhibal yang akrab di panggil Bojes ini aktif dalam kesusastraan jawa kuno, macapat, ketoprak dan karawitan. Aktif menulis di Majalah Jaya Baya dan Panyebar Semangat. Aktif di dalam Kelompok Alief Mojoagung dan Teater Purbatjaraka. Email: esamahadewa@rocketmail.com

B. Irawan, pelaku seni dan penikmat seni, tetapi akhir-akhir ini lebih suka untuk memposisikan diri sebagai penikmat seni. Sempat menyutradarai beberapa repertoar kelompok alief sekaligus pengalaman menjadi aktor. Dalam dunia penulisan, sudah menelurkan beberapa naskah drama. Sekarang sedang belajar menulis cerpen, puisi dan essay. Email: bee.irawan@gmail.com

Liestyo Ambar Wati Khohar, penyair dan penikmat seni kelahiran Jombang,04 November 1984 ini tengah asyik berproses kesenian dengan teman-teman di Kelompok ALIEF Mojoagung.penyuka postmodern ini sudah lama bergelut di dalam dunia penulisan dan teater.pernah bergabung di Majalah Remaja GRADASI sebagai kontributor wilayah Jombang.Email: postmodern_04@yahoo.com

Purwanto atau yang familiar dengan nama Cak Pur menjabat sebagai Presiden Kelompok ALIEF Mojoagung. Lelaki Murah senyum ini aktif dalam berbagai macam. Kegiatan di antaranya: Teater, Pramuka, Sholawatan, Group Band, dll (dan lainnya lupa saking banyaknya). purwo_qolb@yahoo.com

Umi Khofsoh, Mahasiswi STKIP Jombang Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini aktif dalam Kelompok ALIEF Mojoagung sekaligus sebagai pelatih teater SMA 1 Darul Ulum Jombang.

Zaenal Faudin, sudah dilahirkan sejak 10 Februari 1984 di kota Jombang.Selain aktif menulis puisi,sedang aktif menulis naskah-naskah drama, juga bermain dan menyutradarai teater. Bujang yang agak lapuk ini sedang mendamba menemui saudara-saudaranya di Suriname, tepatnya di kota Paramaribo gang 5. Kampung Suka para suka. Penyuka musik keroncong, blues, jazz, dangdut koplo, slowrock, campursari, klasik, country, qasidah, gending-gending, gambus dan segala jenis bunyi-bunyian yang enak didengar telinga.

---------------

INFO :

Purwanto (Ketua Kelompok ALIEF Mojoagung) : 0857 3228 5146

Jumat, 07 Januari 2011








HISTORIOGRAFI KELOMPOK ALIEF MOJOAGUNG


Kelompok Alief Mojoagung merupakan salah satu wadah kesenian bagi remaja pecinta seni yang ada di kecamatan Mojoagung dan sekitarnya. Ide pembentukan Kelompok Alief pertama kali muncul pada bulan Agustus tahun 1999. Dan diikrarkan berdiri pada 9 September 1999. Kelompok ini berdiri karena dorongan batin yang teramat dari beberapa alumnus teater pelajar Mojoagung. Mereka yang sebelumnya berkecimpung dalam dunia panggung teater pelajar, tergerak untuk kembali belajar bersama dalam bidang teater. Sehingga lahir komunitas kecil kesenian bernama ”Kelompok Alief Mojoagung”.

Seiring perkembangannya, Kelompok Alief tidak hanya beraktivitas dalam bidang seni teater saja, namun ingin banyak belajar dan berperan di segala bidang kesenian. Diantaranya: Seni Musik, Seni Rupa, Seni Sastra dan Kesenian Tradisi. Bukan hanya itu saja, Kelompok Alief semakin menunjukkan keseriusannya dalam dunia seni dengan mencoba inovasi-inovasi baru. Seperti: pengembangan kerajinan tangan/handycraft (souvenir; gantungan kunci, bros, pin, sablon, topeng, dll).

Misi utama dari Kelompok Alief adalah ikut serta memeriahkan seni dan budaya dengan tujuan tetap guyub, rukun dan berorientasi pada pendidikan pengembangan karakter diri.

Eksistensi Kelompok Alief selama dasawarsa terakhir telah dibuktikan dengan berbagai macam kegiatan. Termasuk juga sebagai mediator dan fasilitator untuk kelompok-kelompok teater pelajar di Mojoagung. Selain itu, Kelompok Alief juga produktif dalam penggarapan berbagai karya pertunjukan.

Berikut repertoar garapan yang tercatat dalam kurun waktu 11 tahun, diantaranya:
  1. ”Menghisap Kelembak Menyan” (Naskah: Emha Ainun Najib, Sutradara: Edi Harsoyo) 1999
  2. ”Biarlah Hitam” (Naskah/Sutradara: Bambang Irawan) 2000
  3. ”Pentas Ular Besi” (Naskah/Sutradara: Edi Harsoyo) 2001
  4. ”Parade Wayang” (Naskah/Sutradara: Zaenal Faudin) 2001
  5. ”Nyanyian Marduk Pada Bulan” (Naskah: MS. Nugroho, Sutradara: Edi Harsoyo) 2002, Juara Umum Festival Teater Se Jatim 2002 di IKIP PGRI Tuban.
  6. “Bromocorah” (Naskah/Sutradara: Edi Harsoyo) 2003
  7. “Pelabuhan Mati” (Naskah/Sutradara: Zaenal Faudin) 2004
  8. Gelar Pentas Seni Peduli Aceh (Sutradara: Edi Harsoyo, Zaenal Faudin, Purwanto, Roesli)2005
  9. “Kusir Delman dan Wakuncar” (Naskah: MS. Nugroho, Sutradara: Bambang Irawan) 2007
  10. “Pejamkan Sayang” (Naskah/Sutradara: Dayat) 2007
  11. “Jamu Mbah Gandul” (Naskah/Sutradara: Bambang Irawan) 2007
  12. “Siti Bedil” (Naskah: “NN”, Sutradara: Sigit Yitmono Aji) 2008
  13. Pentas Seni Pertunjukan “Pencak Bondan” (Naskah/Sutradara: Bambang Irawan) 2008,Festival Budaya Adhikara Jatim 2008 di Malang
  14. Persembahan Musik “Mata Hati” (Karya: Yanuar SL, Roesli, Purwanto) 2008
  15. ”Ambar Hambar” (Naskah/Sutradara: Bambang Irawan) 2009
  16. Teatrikalisasi Puisi ”Berhala” (Naskah: Emha Ainun Najib, Sutradara: Bambang Irawan)2009
  17. Musikalisasi Puisi ”Bukan Mawar” (Naskah: Zaenal Faudin, Arr: Purwanto) 2009
  18. Musikalisasi Puisi ”Tandha Katresnanku” (Naskah: Arya E.M., Arr: Roesli) 2009
  19. Parade Monolog dalam Halal Bihalal Kelompok Alief 2010
  20. ”Setan” (Naskah: MS. Nugroho, Sutradara: Edi Harsoyo) 2010