Numpang
Pentas di Bara Unggun
Oleh: Purwanto*
Sekali lagi saya menyaksikan sebuah fenomena geliat
kegiatan teater pelajar yang cukup menarik di Mojoagung Jombang. Tidak sekadar
bentuk pertunjukannya, tetapi juga konstruksi suasana yang sengaja dibangun dalam
ranah berkesenian. Sekumpulan siswa SMP bermain drama di antara gemeretak suara
kayu terbakar. Mencoba menaklukkan ruang terbuka dengan suara dan gerak lincah
mereka. Menyedot perhatian berpasang-pasang mata yang berjajar mengelilinginya.
Fenomena ini lahir dan terjadi dengan banyak alasan yang
bisa mendasarinya. Alasan pertama adalah
karena keinginan mereka untuk memperkenalkan diri sebagai komunitas teater dalam
lingkungan sekolahnya. Kedua, sekadar numpang lewat dan unjuk gigi pada teman
dengan cara menunjukkan bakat bermain peran. Ketiga, mumpung ada ruang yang
bisa digunakan sebagai media pertunjukan. Keempat, sebuah pertanyaan, masih
adakah yang mau ikut kegiatan teater di kemudian?
Persoalan
Teater Pelajar
Dari beberapa alasan di atas, saya tertarik dengan alasan
yang keempat untuk dibicarakan, yaitu ”pertanyaan”. Inilah persoalan. Di tengah
maraknya perkembangan teknologi dan informasi seperti saat ini, apakah teater
masih diminati oleh kalangan pelajar? Meski di sekolah sudah ada ekstrakurikuler
teater, masih adakah yang menganggap bahwa teater itu menarik? Lalu, seberapa
banyak siswa yang masih bertahan di dalamnya? Paling tidak inilah sekelumit
masalah yang bisa terekam bila kita melongok ke dalam arus jalannya kegiatan
teater di sekolah.
Memang tidak semua instansi sekolah memiliki
ekstrakurikuler teater, walaupun kurikulum memberi kesempatan untuk itu. Namun
demikian, sekolah-sekolah yang memberi ruang untuk tumbuhnya kegiatan teater
pun belum tentu bisa mempertahankan keberlangsungan kegiatannya.
Sepanjang pengamatan saya selama ini, kegiatan teater di
sekolah (terutama pada tingkat SMP dan SMA di Mojoagung) memang mengalami
pasang surut dalam perkembangannya. Hal ini bisa dilihat pada tingkat minat
siswa terhadap kegiatan tersebut. Banyak siswa yang masuk dan mengikuti
kegiatan teater di awal tahun mereka sekolah, tapi banyak juga yang enggan lagi
mengikuti setelah beberapa waktu terlibat di dalamnya. Tentu ini menjadi satu
tanda tanya, dan tentu saja bukan berarti tanpa jawaban.
Banyak hal yang harus dijawab, terutama oleh pihak-pihak
yang terlibat dan bersinggungan langsung dengan kegiatan teater dalam
lingkungan sekolah. Selain para pelajar, tentu saja para pelatih, guru, dan
kepala sekolah memiliki peran atas keberlangsungan kegiatan teater di sekolah. Eksistensi
kelompok teater dalam lingkungan sekolah tidak hanya terlihat pada intensitas
latihan saja, tetapi mengadakan suatu pertunjukan dari hasil latihannya juga
sangat penting digalakkan. Maka dukungan dari seluruh elemen sekolah sangat diperlukan.
Sering saya jumpai siswa yang benar-benar berminat mengikuti
kegiatan teater tidak bisa aktif mengikuti latihan. Alasannya beragam. Tetapi
yang paling sering saya dengar adalah jadwal latihan berbenturan dengan jadwal
tambahan pelajaran di sekolah. Lambat laun kondisi yang terus menerus seperti
ini semakin membuat siswa bosan. Akibatnya mereka tidak konsentrasi dalam
belajarnya karena ada ketidakikhlasan dalam belajar. Lebih dari itu, mereka pun
akhirnya tidak lagi berminat untuk sekadar nimbrung dalam kegiatan teater,
karena takut tertinggal pelajaran.
Sebenarnya masih banyak lagi persoalan yang membuat
kondisi teater di beberapa sekolah tidak bisa tumbuh dengan baik. Sekian banyak
pelajar meninggalkan kegiatan teater karena mereka menganggap bahwa kegiatan
ini tidak lebih menyenangkan dari bermain PS (play station) atau online di
warnet. Kondisi terburuk yang pernah
saya jumpai adalah kegiatan teater berhenti total karena ketidak-akuran antara
pelatih teater dengan pihak sekolah. Pada akhirnya seolah ada ”pengharaman”
pada setiap aktivitas di sekolah yang berbau teater.
Faktor-faktor tersebut bertambah komplit dengan jarangnya
kompetisi teater pelajar –baik tingkat
kecamatan, kabupaten, dan atau provinsi. Sehingga kurang adanya semangat
berkarya pada masing-masing pangkalan teater pelajar. Bahkan sering terjadi
kemunculan ”kelompok teater siluman”, yaitu kelompok teater yang hidup pada
saat ada kompetisi. Setelah kompetisi selesai, hilang juga kelompok tersebut. Kondisi
seperti ini paling tidak memberi gambaran bagaimana langkah yang harus ditempuh
–pihak sekolah, pelajar, pelatih, dinas pendidikan, dewan kesenian- agar teater
sebagai salah satu bentuk pendidikan bisa terus bertumbuh secara sehat.
Numpang
Pentas untuk Promosi
Beragam permasalahan yang dialami oleh kelompok teater
pelajar di sekolah, ternyata dialami juga oleh kegiatan ekstrakurikuler yang
lain. Secara spesifik permasalahannya tentu berbeda, tetapi secara umum
problematikanya sama. Hal yang paling dominan adalah tingkat minat pelajar
terhadap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dari persoalan yang ada,
pemecahannya yang harus ditemukan. Setidaknya celah-celah untuk memberi solusi
harus diciptakan. Sehingga permasalahan tersebut tidak semakin mempercepat “kematian
kelompok-kelompok teater pelajar”.
Di SMPN 1 Mojoagung, sekelompok siswa yang tergabung
dalam teater Wadtera ternyata mulai memikirkan hal itu. Mengikuti latihan rutin
seminggu sekali di sekolah membuat mereka merasa tertantang untuk menyuguhkan
hasil latihannya di ruang publik. Tidak puas hanya menampilkan karya di
acara-acara khusus kegiatan kesenian (misalnya: pentas mandiri, lomba teater,
pentas di acara kesenian tertentu), mereka pun memanfaatkan segala bentuk kegiatan
yang bisa digunakan untuk berpentas.
Seperti yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu [15
September 2012], teater Wadtera tampil dengan drama komedinya di tengah semarak
kegiatan Persami Pramuka SMPN 1 Mojoagung. Kegiatan penyulutan api unggun yang
digelar pada acara tersebut dimanfaatkan oleh teater Wadtera untuk unjuk
kebolehan di depan teman-teman satu sekolahnya.
Jaka
Kendil Mencari Cinta, itulah
judul drama yang mereka sajikan malam itu. Disutradarai oleh Matahari
Adihapsari S. B. (salah satu anggota Wadtera, kelas 8), drama komedi ini berhasil
menghidupkan suasana. Guyonan yang mereka bawakan menciptakan tawa dan
keakraban. Semakin hidup lagi ketika para aktor yang terlibat dalam pementasan
selalu berinteraksi dengan penonton yang notabene bukan anggota teater.
Keprihatinan saya terhadap permasalahan di tubuh teater
pelajar selama ini sedikit berkurang saat melihat pementasan ini. Dengan
berbekal semangat untuk nguri-uri kegiatan
yang bermanfaat, anak-anak ini berusaha tampil sebaik mungkin. Hal ini
semata-mata untuk memperkenalkan kepada khalayak bahwa teater itu menarik dan
menyenangkan.
Akhirnya numpang pentas usai. Sorak dan tepuk tangan
penonton riuh di lapangan. Semua pemain terlihat lega. Di balik kelegaan itu
muncul lagi pertanyaan di benak saya, ”Kira-kira sampai kapan mereka akan
bertahan?”
0 komentar:
Posting Komentar